Kebohongan pemerintah Amerika Serikat tentang perang di Vietnam yang berlangsung bertahun-tahun, akhirnya terungkap. Seorang peneliti perang bernama Dan Ellsberg membocorkan dokumen rahasia tentang catatan perang Amerika Serikat-Vietnam yang dikepalai oleh Menteri Pertahanan Negara saat itu, Robert McNamara. Tersebarnya dokumen itu kemudian dikenal dengan peristiwa ‘Pentagon Papers’.
Steven Spielberg, adalah seorang sutradara yang mengemas peristiwa itu dalam sebuah film berjudul “The Post”. Film ini mengambil sudut pandang The Washington Post, media kedua yang menerbitkan pentagon papers dalam berita hariannya. Film ini menjadi menarik karena juga mengangkat tentang konflik internal media tersebut.
“Begitulah cara kerjanya, politisi dan pers saling percaya sehingga bisa pergi ke pesta makan malam dan minum koktail yang sama,” begitulah Ben Bradlee, editor The Washington Post menyindir atasannya, Kay Graham.
Sebagai editor sebuah media, Ben Bradlee yang diperankan oleh Tom Hanks menginginkan kabar luar biasa bertengger di halaman depan surat kabarnya. Ia muak dengan The Washington Post yang hanya memberitakan isu-isu ringan. Baginya, dokumen rahasia berisi catatan perang Amerika Serikat-Vietnam merupakan kabar penting yang bisa mendongkrak nama The Washington Post. Namun, pemilik The Washington Post, Kay Graham yang diperankan oleh Marly Spreed tidak sepaham dengannya.
Kay Graham yang baru saja memasukkan The Washington Post dalam bursa efek, tidak mau mengambil resiko bila para investor mundur tidak berinvestasi lagi pada perusahaannya. Ditambah lagi, ia memiliki hubungan dekat dengan para politisi, termasuk Robert MacNamara. Rekan-rekannya pun menasehatinya untuk tidak menerbitkan dokumen itu, karena Nixon [pemerintah saat itu] pasti akan menyerangnya. Mereka bisa saja dibawa ke ranah hukum sebagaimana nasib ‘New York Times’, media yang lebih dulu menerbitkan dokumen tersebut.
Perbedaan pandangan antara Ben Breadlee dengan pemilik baru media The Washington Post, Kay Graham, konflik antar investor perusahaan yang meragukan kemampuan Kay Graham dalam memimpin perusahaan seerta proses pengumpulan berkas dan proses penerbitan. Semuanya dirangkai apik oleh Steven Spielberg dalam film ini.
Dari film “The Post”, kita bisa melihat bagaimana politisi dan pengusaha (pemilik modal) sangat mungkin untuk mempengaruhi keberpihakan media. Bila dominasi politik terlalu besar, maka sangat mungkin isu-isu politik yang menyangkut pemerintah akan menjadi isu yang tidak penting. Bahkan, media mungkin akan melupakan fungsinya untuk mengungkap fakta dan ikut andil menina bobokkan rakyat dari kebobrokan negara. Selain itu, ketika kepentingan pengusaha mendominasi, terlihat jelas bahwa sebuah media hanya mengutamakan keuntungan dan lupa memperhatikan fungsinya sebagai kontrol sosial.
Keberanian Kay Graham mempertaruhkan reputasi dan kekayaannya demi kepentingan orang banyak, semestinya ditiru oleh pemilik media yang lain. Bagaimanapun, bisnis media merupakan bisnis kepercayaan. Menjaga kepercayaan pembaca melaui kredibilitas media seharusnya menjadi acuan bagi media-media di dunia, tak terkecuali Indonesia.
Itulah sebabnya kebebasan pers menjadi penting. Media seharusnya independen dan terlepas dari kepentingan manapun, tidak politik, tidak juga pengusaha, kepentingan rakyat adalah satu-satunya kepentingan yang harus diutamakan sesuai dengan elemen jurnalisme.
Media merupakan salah satu sendi dari demokrasi sebuah negara. Maka, selagi bisa dipertanggung jawabkan, seharusnya tidak ada yang boleh mengintervensi mereka. Jadi, mari kita perhatikan media kita saat ini. Kepentingan mana yang menjadi misi mereka?
Halimatus Sakdiyah, Jurnalis LPM Rhetor, Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.