Yang Kutahu dari Sosok Gus Dur

1085
sumber: gusdurphotos
Catatan  Taufiqurrahman
“Gitu aja kok repot!” Begitulah semboyan yang biasa diungkapkan oleh mantan Presiden ke-4 RI dan mantan ketua umum PBNU sejak 1984 hingga tahun 1994, KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih di kenal dengan sebutan Gus Dur. Sosok pluralis, humanis dan idealis yang menginspirasi banyak orang. Di balik kekaguman itu, saya mencoba memaparkan jejak rekam Gus Dur di masa kecilnya hingga masa mudanya.
Gus Dur dilahirkan di Jombang pada tahun1940 dari pasangan suami istri KH. Abdul Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Sholihah. Ia memiliki trah ulama’ besar. Ayahnya, Wahid Hasyim adalah putra KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU.  Wahid merupakan mentri agama pertama Indonesia. Sedangkan ibunya ada putri KH. Bisri Syansuri yang juga salah satu ulama pendiri NU. Gus Dur kecil selalu belajar mengaji dan ilmu agama kepada kakeknya KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang.
Ketika berumur empat tahun, Gus Dur pergi meninggalkan Jombang bersama ayahnya ke Jakarta. Karena ayahnya telah diangkat menjadi ketua MIAI menggantikan KH. Hasyim Asy’ari. Di Jakarta, Gus Dur bersama ayahnya KH. Abdul Wahid Hasyim tinggal di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Mereka tinggal di daerah yang merupakan pusat kegiatan, sehingga mereka, lebih-lebih ayahnya sering bertemu dengan orang-orang nasionalis seperti Bung Karno, Hatta. Akan tetapi, ketika masa revolusi, mereka kembali ke Jombang untuk berkumpul dengan ibu dan adik-adiknya. Dikarenakan pada tahun 1949 KH. Abdul Wahid Hasyim terlibat dalam kegiatan pemerintahan, maka ia sekeluarga pidah ke Jakarta. Gus Dur merupakan satu-satunya anak yang paling dekat dengan ayahnya di antara saudara lainnya, sehingga dia selalu ikut mendampingi ayahnya dalam kegiatan-kegiataan kepemerintahan maupun NU.
Gus Dur menempuh pendidikan dasar di Jakarta yang dekat dengan rumahnya daerah Matraman Jakarta Pusat. Setelah tamat di sekolah dasar, Gus Dur melanjutkan sekolah di SMP di Yogyakarta  dan tinggal di rumah salah seorang tokoh Muhammadiyyah. Di samping itu, Gus Dur juga belajar di Pesantren Al-Munawwir Krapyak di bawah pengajaran KH. Ali Maksum. Setelah itu, Gus Dur pidah ke Pesantren Tegalrejo Magelang di bawah asuhan KH. Khudori. Di Pesantren Tegalrejo, Gus Dur hanya mondok selama dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Jombang dan belajar di Pesantren Tambakberas di bawah asuhan KH. Wahab Chasbullah.
Ketika Gus Dur mamasuki usia remaja, beliau mulai serius dalam membaca, baik ilmu agama, sastra, novel, maupun lainnya. Bahkan ketika Gus Dur SMP, beliau mulai membaca wacana-wacan kiri seperti karya Karl Marx, Lenin dan lainnya. Hobi lainnya ialah menonton film di bioskop.
Ada hal yang berbeda pada Gus Dur ketika belajar di Pesantren Tambakberas Jombang. Ia melakukan pendekatan-pendekatan sufistik dengan berziarah ke makam-makam yang ada di Jombang, termasuk makam ayah dan kakeknya di Pesantren Tebuireng. Ia lakukan dengan berjalan kaki pada malam hari agar tidak ada orang yang mengetahuinya. Ketika di Tambakberas, Gus Dur mulai mengajar dan menjadi kepala sekolah dan mulai aktif dalam tulis menulis di media massa. Pada waku itu juga, Gus Dur mulai membaca wacana Islam fundamentalis seperti karya-karya Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb dan lainnya. Ketika mengajar, Gus Dur terpikat dengan muridnya, seorang gadis cantik yang bernama Nuriyah. Wanita tersebut kelak dinikahinya.
Pada tahun 1963, Gus Dur mendapat beasiswa departemen agama untuk melanjutkan studinya ke Kairo Mesir. Gus Dur menerimanya dengan senang hati dan memilihnya untuk masuk di Universitas Al-Azhar. Walaupun Gus Dur memilih Universitas terkemuka dan tertua di dunia, beliau merasakan kekecewaan, karena harus mengikuti tes bahasa Arab pemula. Ia juga merasakan kekecewaan lagi karena semua mata pelajarannya sama dengan pelajaran di Pesantren. Sepanjang tahun 1964, Gus Dur tidak masuk kuliah dan waktunya dihabiskan dengan membaca buku di perpustakaan besar di Kairo, menonton film di bioskop dan diskusi di kedai-kedai kopi.
Sebagaimana biasa mahasiswa yang berasal dari Indoensia, Gus Dur juga tinggal di asrama mahasiswa Indonesia yang leboh dikenal dnegan sebutan “Desa Indonesia”. Dan pada waktu itu juga, Gus Dur tepilih sebagai ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia. Walaupun Gus Dur berada di luar negeri, beliau tetap berhubungan dengan gadis pujaannya itu, Sinta Nuriyah dengan selalu mengirim surat kepadanya dan menceritakan kegiatan serta kekecewaanya di Kairo. Selama satu tahun lebih di Kairo, Gus Dur mendapatkan suatu pekerjaan di kedutaan besar Indonesia. Akan tetapi, pekerjaan itu memberikan tantangan dan kekhawatiran terhadap Gus Dur dengan keadaan yang terjadi di Indonesia. Yakni pergolakan dan pertumpahan besar-besaran antara kaum kiri dan kanan. Karena Gus Dur sebagai pekerja di keudataan besar Indonesia, ia mendapat tugas untuk menyelidiki mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang membela golongan kiri. Pada saat itulah Gus Dur mengalami tekanan dan trauma yang berat. Akan tetapi, ia berhasil untuk membela teman-temannya itu.
Singkat cerita, akhirnya Gus Dur mendapat tawaran beasiswa ke Baghdad dan beliau pun menerimanya. Di sinilah Gus Dur mulai serius dalam menjalani dunia akademiknya, karena di Baghdad merupakan tempat bagi para intelektual untuk bebas bertukar pikiran dalam bidang keilmuan. Walaupun Gus Dur mempunyai waktu yang padat dalam dunia akademiknya tapi beliau tetap tidak meninggalkan kebiasaanya membaca buku dan menonton film. Di Baghdad, Gus Dur juga bekerja di kantor Ar-Rahmadani, perusahaan khusus impor barang tekstil dari Eropa dan Amerika. Selama tiga tahun pertama di Baghdad, Gus Dur tinggal bersama 19 mahasiswa yang juga berasal dari Indonesia. Sebagaimana biasa dengan gaya humorisnya, Gus Dur selalu membuat hal-hal yang aneh sehingga bikin semua teman-temannya jengkel kepadanya. Pada pertengahan tahun 1970-an, Gus Dur menyelesaikan studinya di Baghdad dan pindah ke Eropa. Ketika di Eropa beliau mempunyai kesempatan untuk pergi ke Belanda, Jerman dan Prancis. Gus Dur hanya tinggal selama 6 bulan di Eropa. Pada tahun 1971, ia kembali ke Indonesia.

Penulis adalah mahasiswa FDK jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, pengagum sosok dan pemikiran Gus Dur.

You may also like

Gerakan Sosial Islam pada Masa Kolonialisme

Gerakan kolonialisme Belanda di Indonesia adalah ekspansi kapitalisme;