SEKUNTUM LUKA
Sunyi mencumbu sekumpulan ternak di tepi gelap
Memekik erang pada sayup
Lantaran kau tunggui pentas yang tak kunjung usai
Dari simposium pabrik angan
Menjelma nestapa berkepanjangan
Oh… petaka!
Sampai lelah taut urai telunjuk
Kadang terkepal dan menerkam segala
Benih cemburu kekinian
: kurcaci bijak tanpa mahkota
Membujur kaku pada yang kasat
Dewa bagi sekuntum layu
Intan dalam genang lumpur kemerahan
Sayup berontak
Jajaki serapah setia tentang janji bertahun
Lorong berlipat ganda dari mulut berbuah luka
Sia-sia
Yogyakarta, 22 Maret 2017
HARAP TENANG
Harap tenang ada ujian
Musibah di mana-mana
Jauh sebelum kugantung doa
Pada sajadah negeri beralas sawah
Hutan dan mutiara
Harap tenang ada ujian
Keserakahan penguasa
Bertimbang laku, hukum, ideologi
Dan segalanya
Segala berbunga duka
Trotoar-trotoar di negeriku
Satu persatu terlucuti biasnya
Tak ada hitam, apalagi putih pada sepertiga
Kumbang jalanan
Semua berderek mengantri
Bak antrian panjang menunggu angpau
: aku kebagian yang mana?
Berdesak, konfrontasi, caci maki
Ah, itu sudah lumrah di negeriku
Negeri berlembar ujian
Yogyakarta, 27 Maret 2017
PADA SECANGKIR RASA
pada secangkir rasa kuaduk telunjuk
menyisir sesamping
mengitari tujuh keliling
benua kecil; negeri cangkir
aku melihat negeriku pada secangkir itu
tenggelam bersama ampas
dan terdampar di dasar kehendak golongan
pada secangkir rasa tenggelam tanyaku
kaukah derita?
kaukah luka?
menyemai dalam sumpah
lelagu kekinian tak berirama
:hampa
sekali saja angan kubiarkan jemawa
mencari jalan kembali
menuju tiada
Yogyakarta, 29 Maret 2017
Rodiyanto. Tuhan memilih (kota) Sumenep untuk dijadikannya tempat menghempas dan merengek pertama kali. Kota yang selalu dirindukan dan menjadi tempat berpulang. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga. Mondar-mandir di KMPD dan LPM Arena.
ilustrasi : https://i.ytimg.com/vi/FMDjH8McaXQ/maxresdefault.jpg