Demo Hari Buruh di Pertigaan UIN, Semua Pihak Mendadak Beringas

1412
Massa aksi Hari Buruh Sedunia saat membakar ban di Pertigaan UIN, Selasa (1/5). (Dok. Rhetor/Fajril)

Oknum mahasiswa bakar pos polisi, warga rusak fasilitas kampus dan pukuli mahasiswa, polisi keroyok kuasa hukum mahasiswa.

lpmrhetor.com, Yogyakarta – Sejak siang ratusan mahasiswa yang menggabungkan diri ke dalam aliansi bernama Gerakan Satu Mei (Geram) sudah berkumpul di pertigaan Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta, atau sering disebut pertigaan UIN Sunan Kalijaga pada Selasa (1/5/2018). Dengan membawa berbagai macam tuntutan, massa yang tidak diisi oleh satupun elemen buruh itu sedikit-sedikit menyicil pengerusakan terhadap berbagai fasilitas umum yang ada di hadapannya.

Rambu lalu lintas, trotoar jalan, hingga pos polisi menjadi korban amukan massa yang mengenakan pakaian serba hitam, mengenakan ciput, dan penutup wajah bak suporter klub sepakbola Italia itu. Beberapa di antaranya bahkan melemparkan bom molotov ke arah pos polisi. Alhasil, pos polisi yang malang itupun hancur berantakan.

Seperti mengajak berkelahi

Tidak sampai di situ, salah seorang massa aksi berteriak menantang ke arah barisan polisi. Berbekal megaphone di tangannya, ia berteriak “Mohon perhatian, kepada Polres Sleman, agar segera menambah anggotanya. Sekali lagi, kepada Polres Sleman, agar segera menambah anggotanya,” katanya.

Teriakannya tidak digubris oleh polisi. Mereka pun melanjutkan aksi beringasnya.

Tidak lama kemudian, jajaran polisi bermotor dari Polda DIY sudah berbaris di arah timur dan siap membubarkan mereka. Bukannya semakin kondusif, massa aksi justru menyalakan kembang api seakan-akan senang dan justru menyambut kedatangan satuan detasemen anti anarkis itu.

“Hore… Happy May Day…!” teriak seorang massa aksi.

Konsentrasi massa pun beralih ke arah timur seakan siap mengadang barisan polisi bermotor tersebut. Tiba-tiba, seorang massa aksi bertubuh kekar melemparkan bom molotov ke arah pos polisi. Sialnya, api menyebar dan mengenai beberapa warga yang menonton.

Warga pun marah. Warga kemudian membubarkan massa aksi. Berbekal tongkat dan batu di tangan, puluhan warga mengejar sambil berteriak-teriak kasar ke arah massa aksi yang berlarian kocar-kacir.

Pertigaan yang tadinya diduduki oleh massa aksi berpakaian hitam kini diambil alih oleh warga. Ternyata, warga sama beringasnya dengan massa aksi. Bukan hanya membubarkan kerumunan aksi, warga juga mengepung kampus UIN yang kebetulan dekat dengan lokasi unjuk rasa.

Salah satu massa aksi tertangkap dan dipukuli

Beberapa saat kemudian salah seorang massa aksi tertangkap oleh warga. Ia menjadi sasaran amuk warga. Ia kemudian diamankan oleh polisi dan dibawa ke dalam pos yang sudah terbakar dengan keadaan wajah berlumuran darah. Beberapa warga dan oknum kepolisian mendaratkan pukulan di bagian wajahnya.

“Ngerusak Jogja yang kaya gini nih,” kata seorang warga.

Bukan hanya massa aksi, beberapa fasilitas kampus pun menjadi korban amuk warga. Gapura, motor-motor mahasiswa, dan bahkan beberapa mahasiswa yang belum terbukti terlibat dalam aksi unjuk rasa tidak terlepas dari aksi persekusi warga yang mulai kesetanan itu.

Salah seorang mahasiswa yang juga seorang pengemudi ojek online yang kebetulan sedang melintas pun menjadi korban salah sasaran.

Salah tangkap dan main hakim sendiri

Warga kemudian melakukan aksi sweeping ke seluruh penjuru kampus. Beberapa orang yang tidak terlibat pun menjadi korban persekusi warga.

Seorang mahasiswa yang sedang bersantai di depan gedung Student Center kemudian dikerumuni oleh puluhan warga yang membawa-bawa kayu dan batu. Mahasiswa tersebut bahkan sudah mengaku bahwa ia bukan bagian dari massa aksi, namun warga yang terlanjur emosi tetap melontarkan kata-kata kasar ke arahnya. Ia pun diamankan polisi.

Di depan gedung Multi Purpose (MP), seorang mahasiswa yang belum terbukti melakukan pengerusakan juga mengalami penganiayaan. Ia ditarik, ditendang, dan dipukuli dengan tongkat kayu. Tak hanya itu, mahasiswa yang belakangan diketahui sebagai Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan itu dilontari kata-kata kasar.

Melihat warga yang melakukan penganiaayaan dan pengerusakan, Kapolda DIY, Brigjen Pol Ahmad Dofiri, justru memberikan ucapan terimakasih.

“Ya terimakasih kepada warga masyarakat. Tanpa kita perintahkan ‘tarik’ juga mereka sudah melakukan pembubaran,” katanya.

Hingga menjelang maghrib, warga masih melakukan sweeping di lingkungan kampus UIN. Petugas gabungan dari Polda DIY dan Polres Sleman kemudian membubarkan warga dan mengambil alih sweeping. Warga pun membubarkan diri saat hari menjelang gelap.

Giliran polisi yang beringas

Tak lama kemudian, puluhan petugas yang mengenakan pakaian anti huru-hara melakukan sweeping ke arah gedung Pusat Pengembangan dan Teknologi Dakwah (PPTD). Ternyata, di dalam gedung yang berada di belakang gedung MP itu telah bersembunyi puluhan massa aksi berpakaian hitam-hitam.

Puluhan petugas kemudian menangkap puluhan massa aksi dan tidak sedikit melakukan penganiayaan. Padahal, beberapa rekannya sudah mengingatkan agar tidak melakukan aksi kekerasan terhadap mahasiswa. Namun, sepertinya beberapa oknum petugas tidak dapat menahan emosi dan tetap melakukan aksi beringasnya.

Menurut pengakuan reporter lpmrhetor.com, Siti Halida Fitriati, yang kebetulan berada di lokasi sweeping, beberapa massa aksi dilontari kata-kata kasar, ditendang, diinjak, dan diperintahkan untuk berjalan jongkok sejauh ratuasan meter. Beberapa massa aksi perempuan terlihat menangis karena tidak tahan dengan perlakuan kasar tersebut.

Saat Halida hendak merekam, beberapa warga melarangnya. Halida mengatakan, sebelum ia datang warga pun sudah berupaya mengabadikan momen tersebut. Namun demikian beberapa oknum petugas melarangnya. Akhirnya warga menyarankan Halida untuk tidak merekam kejadian tersebut.

Dari aksi sweeping tersebut polisi menangkap 69 massa yang diduga terlibat dalam unjuk rasa yang berujung ricuh itu. Sepuluh di antaranya adalah perempuan. Mereka kemudian diangkut ke Mapolda DIY untuk dilakukan pemeriksaan.

Mekanisme hukum yang dinodai

Sesampainya di Mapolda, kisah beringas belum berakhir. Mahasiswa kemudian menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan PBH LBH untuk melakukan pendampingan hukum terhadap mahasiswa yang ditahan oleh kepolisian. Emmanuel Gobay dan seorang dari PBH LBH kemudian berangkat ke Mapolda untuk melakukan pendampingan hukum.

Sesampainya di sana, kedua kuasa hukum justru tidak diizinkan untuk menemui mahasiswa dengan alasan tidak ada surat kuasa. Beberapa jam kemudian, Yodi Zul Fadhli, salah seorang anggota LBH tiba di Mapolda dengan membawa surat kuasa.

Namun upaya itu masih dihalang-halangi oleh polisi dengan alasan pendataan mahasiswa yang belum selesai. Pihak LBH pun bersikap kooperatif dan menunggu di teras depan aula Mapolda DIY atas izin petugas.

Beberapa menit kemudian, seorang polisi datang ke aula dan berteriak mengusir warga sipil dan siapapun yang dinilai tidak memiliki kepentingan untuk meninggalkan lokasi, termasuk kuasa hukum yang bermaksud mendampingi mahasiswa.

Emmanuel dan Yogi lantas mempertanyakan landasan hukum mengapa mereka sebagai kuasa hukum tidak dapat mendampingi langsung mahasiswa yang ditangkap. Namun demikian, pihak kepolisian tetap bersikukuh melarang kehadiran mereka.

Tidak sampai di situ, beberapa oknum petugas justru mendorong, mengerubungi, bahkan mengeroyok Emmanuel. Beberapa pukulan mendarat di tubuh Emmanuel. Akhirnya, pihak LBH terpaksa keluar area Mapolda dan tidak dapat melakukan pendampingan hukum.

Saat dikonfirmasi, pihak LBH melalui direkturnya, Hamzal, mengatakan bahwa pihak LBH akan menyikapi persitiwa tersebut. Namun, saat ditanya sikap apa yang dikeluarkan, Hamzal mengatakan masih mendiskusikan dengan jajaran LBH yang lain.

“Kita akan sikapi lebih lanjut terkait kasus ini. Tapi ini masih jadi didiskusikan,” kata Hamzal.

Reporter: Fahri Hilmi

Editor: Fiqih Rahmawati

You may also like

Pameran “From the Wall To the Sea”: Meninjau Kembali Hegemoni Isu Agama dengan Solidaritas Kultural

lpmrhetor.com- Selepas hujan sehari penuh di Yogyakarta, para